Jumat, 24 Januari 2014

Kepahlawanan Bocah Terbuang


“Mereka tidur dengan nyenyak di rumah-rumah mereka. Sedangkan aku…”
Hujan malam itu turun dengan sangat deras. Suhu dingin menjalar liar menusuk kulit-kulit yang tak terlindung oleh tebalnya tembok rumah. Mobil-mobil mewah melaju kencang di jalan raya. Tak pelak, genangan air turut menyiprat sekitarnya.

Cipratan air itu mengenai kulit seorang anak kecil yang duduk jongkok di pinggir jalan raya, berteduh “sementara” dari derasnya air hujan malam itu. Ya, sementara, sebelum diusir oleh mereka yang merasa berhak…

“…aku memang sudah ditakdirkan menjalani kehidupanku sebagai bocah miskin terbuang yang tidak pernah dianggap ada oleh mereka.” Bocah kecil itu memangkukan kepalanya di atas tangan. Suaranya terisak.

^ ^

Sore hari sebelum malam itu.

Plak. Tamparan keras menghantam pipi bocah terbuang itu. “Hei bocah nakal, mana kedua orang tuamu?”

“Ampun pak… Ampun..”

“Hei, jawab pertanyaanku! Mana orang tuamu yang mendidik kamu menjadi pencuri?” Mata orang itu melotot, hampir-hampir mau copot.

“Ampun pak… Aku nggak punya orang tua.”

“Apa? Nggak punya orang tua? Lalu, bagaimana caramu mengganti senampan roti yang telah ternodai tanganmu itu?” Bapak itu menunjuk roti-roti yang terserak di atas tanah. Mukanya kian membara.

“Ampun pak… Aku nggak bisa apa-apa…” Sebutir air mengalir di pelipis bocah itu.
Dengan geram, bapak itu menjewer telinga kiri anak itu. “Aduh.. duh… Ampun… Sakit…”

“Maaf nak, setiap perbuatan ada konsekuensinya. Sekarang, kamu, harus mengganti segala kerugian akibat perbuatanmu itu. Mengerti?”


“Ampun pak… aku nggak ada uang… Hu… hu…”

“Tidak. Kamu tidak perlu menggantinya dengan uang.” Senyum sinis tergurat di wajahnya.

Terasa tendangan kuat di bokong anak kecil itu. Panas. Tubuhnya terjungkal ke sekerumunan wanita yang sedang membuat adonan roti. Mukanya mencium tanah.
Seorang ibu mendekatinya.

Tidak. Itu bukan ibu-ibu. Terlihat sekali dia masih muda. Dia seorang gadis. Bocah terbuang itu agak takut. Perlahan dia mundur.

“Tenang bocah kecil, jangan takut… Namamu siapa?” Senyuman tulus dari gadis itu membakar habis segala ketakutan yang bersemayam pada diri bocah itu. Bahkan, kobarannya semakin besar hingga mengacaukan tempo detak jantung bocah kecil itu.

“Aku… Eh, namaku…” Susah sekali bagi bocah kecil itu berkata-kata. Detak jantungnya bertambah cepat.
“Aku Richard. Salam kenal.” Ah, lega.

“Wah, nama yang bagus untuk seorang bocah kecil sepertimu.” Wanita yang lainnya tertawa. “Ups, maaf, aku salah ngomong ya? Namamu bagus sekali.”

“Kalau mbak namanya siapa?” Richard agak getir menanyakannya.

“Aku Sarah. Sepertinya kamu harus istirahat. Ayo, aku ajak ke kamarku.” Sarah membantu Richard berdiri. Dia menyeka debu yang menempel di sekujur pakaian Richard. Wajahnya memerah.

Aku yang miskin dan terbuang ini ternyata masih bisa merepotkan orang lain.

^ ^

Richard duduk di atas dipan. Dia tidak menyangka tadi sore dimarahi oleh seorang bapak penjual roti yang super galak itu dan sekarang berbeda. Waktu itu, Richard sudah pasrah akan apa yang akan dihadapinya nanti. Eh, nggak nyangka mala mini dia sudah bisa nyantai di kamar seorang gadis yang baik hati karena telah membantunya waktu itu. Terbayang semua kenangan indah –walaupun sesaat- yang takkan pernah terlupa sepanjang hidupnya. Dia akan selalu mengingat nama gadis baik hati yang membantunya tadi. Sarah. Ya, itulah namanya. Nama yang sangat indah.

“Padahal sudah larut malam, tapi kok mbak Sarah belum datang juga ya?” Richard memandang bulan purnama yang tersingkap dari balik jendela. “Aku jadi khawatir.”
Lambaian angin malam meraba kelopak mata Richard. Perlahan, kantuk mulai menyerang.

Richard merebahkan badannya di atas dipan. Dia mulai mengatupkan matanya.
Prak.

“Suara apa itu?” Richard menghampiri pintu dan membukanya sedikit. Dia melihat mbak Sarah duduk bersandar dan sebuah sapu patah tergeletak di sampingnya.
Gubrak.

Lagi-lagi suara mengganggu khusyuknya suasana malam kembali tercipta, namun kali ini dia melihatnya dengan jelas adegan kekerasan itu di depan matanya sendiri.
“Mbak Sarah...,” suaranya lirih.

Richard melihat dengan jelas, dengan mata kepalanya sendiri, sebuah tong sampah besi menghantam wajah mbak Sarah. Perlahan, cairan kental merah mengalir manja dari hidungnya. Dia tak sadarkan diri.

“Sarah, kalau kamu masih mengurus anak sialan itu, akan kupecat kau dari pekerjaanmu!”

Richard tahu mbak Sarah tidak bisa mendengar amukan bapak penjual roti yang pemarah itu. Dia tahu mbak Sarah itu hanya pegawainya, tapi jangan gitu juga dong. Richard sangat tidak terima dengan perlakuan kasar dan tidak beradab ini. “Aku lebih baik kembali menjadi gelandangan daripada harus merusak kehidupan orang lain.”
Richard segera keluar dari rumah itu. Sebelum keluar, ketika melewati mbak Sarah yang masih pingsan, dia membisikkan sesuatu di hadapannya, “Mbak Sarah, terima kasih atas segala kebaikanmu selama ini. Aku janji, setelah aku keluar dari rumah ini, aku akan menjadi manusia yang lebih baik, yang bermanfaat bagi manusia.” Richard lalu meraih kapur yang tersampir di samping mbak Sarah dan menuliskan sesuatu di dinding.

Jangan cari aku.

^ ^

“Pak, kenapa kau biarkan Richard pergi dari rumah ini!”

Bapak pemarah itu mengisap cerutunya dengan nikmat lalu menghembuskan asap ke udara. Tampaknya dia cuek.

“Hei Sarah, biarlah saja dia pergi. Memang takdirnya itu di jalanan. Sarah, kau harus mengerti bahwa kehidupan ini memang keras. Nggak usahlah kau jadi sok pahlawan menolongnya segala.”

“Tapi pak, Richard itu juga manusia. Kita harus mencarinya. Kehidupan di luar sangatlah liar! Bagaimana kalau misalnya nanti dia mati kelaparan?” Sarah berteriak-teriak meneriaki bapak pemarah yang juga majikannya itu. Bulir-bulir air matanya terhempas ke kanan dan ke kiri mengikuti tempo bicaranya. Hati Sarah sungguh tidak tenang. “Kita harus mencarinya… harus!” Sarah melangkah cepat meninggalkan rumah.

“Hei Sarah! Jangan pergi dulu! Kerjaanmu masih banyak!” Majikan itu berusaha mengejar Sarah.

^ ^

Hujan malam itu turun dengan sangat deras. Suhu dingin menjalar liar menusuk kulit-kulit yang tak terlindung oleh tebalnya tembok rumah. Mobil-mobil mewah melaju kencang di jalan raya. Tak pelak, genangan air turut menyiprat sekitarnya.
Cipratan air itu mengenai kulit seorang anak kecil –bernama Richard- yang duduk jongkok di pinggir jalan raya, berteduh SELAMANYA karena terusir dari nyamannya kebaikan mbak Sarah, sesosok malaikat yang tercipta untuk memperbaiki kehidupannya.

Richard terus mengeluhkan keburukan-keburukan mereka yang merasa lebih baik dari dirinya.

“Tolong! Tolong!” Sebuah teriakan nyaring membahana seantero kota. Teriakan itu tidak sengaja mengetuk gendang telinga Richard dan gendang hatinya sehingga Richard sangat bergairah memenuhi permintaan tolong itu.

Sepertinya aku sangat mengenali suara itu. Jangan-jangan…

Ya, dugaan Richard tepat. Teriakan itu adalah teriakan mbak Sarah yang terkepung sekelompok orang yang menghunus samurai. Dia dan seorang bapak yang sangat dikenalnya dengan sifat pemarahnya terkepung tanpa membawa senjata apapun.
“Hei bapak tua, segera serahkan pabrik rotimu itu kepada kami atau kamu ingin melihat jasadmu terpisah dari kepalanya?” Seorang pria bersenjata itu mengeluarkan ultimatum.

“Tidak akan!”

“Dasar tua bangka tamak!” Sekelompok orang bersenjata tajam itu mulai memainkan samurainya. Mengancam jiwa. Memudarkan asa. Melepas harapan hidup. Sarah dan majikannya sudah tidak terpikir lagi apakah esok masih bisa menatap mentari pagi.

“Hentikan!” Richard yang seorang anak kecil itu berani menantang para preman bersenjata itu.

Hening.

Para preman itu beralih pandangan ke Richard. Salah seorang dari mereka tersenyum sinis. “Hei bocah ingusan, kau sudah ganti popok?” Sontak, tawa pecah di antara mereka.

Permainan pedang mereka kini beralih ke Richard. Dengan susah payah, dia berusaha menghindari setiap sabetan yang tercipta. Richard sadar usahanya ini sia-sia. Lagipula di tidak membawa senjata. Tapi, anak sekecil Richard pun tahu dia tak mau mati konyol seperti ini.

“Ayo Richard sayang, kau pasti bisa!” Harapan lirih keluar dari mulut Sarah.

“Ya, aku pasti bisa!” Richard mulai menggerakkan badannya. Dia mulai menyepak betis salah seorang dari mereka, menginjak kaki mereka, meninju organ “vital”, menyundul perut mereka hingga mereka hanya bisa berkata, “Aduh… sakit..” sambil memegangi bagian tubuh yang sakit.

Richard tersenyum. “Mbak Sarah, aku bisa!” Mbak Sarah pun membalasnya kembali dengan senyuman walaupun raut khawatir masih tampak dari wajahnya.

“Ya Richard, mbak yakin padamu.” Angin malam berubah menjadi angin kebahagiaan. Dingin pun sudah tidak terasa karena telah berganti dengan kesejukan. Awan kabut yang menyelimuti bulan mulai sirna. Bulan purnama menyinari wajah mereka berdua. “Richard… awas!”

Sebuah samurai menusuk dada kirinya, tepat di area vital anak itu, area jantung. Richard masih –mencoba- tersenyum. Kata-kata terakhir keluar dari mulutnya, “Jangan cari aku.”

Jasadnya ambruk bersamaan dengan ambruknya kebahagiaan dalam kehidupan Sarah.

“Richard… aku nggak tahu akhirnya akan menjadi seperti ini…” Sarah melihat tragedi itu. Tragedi berdarah. Darah. Cairan segar merembes dari tubuh lunglai Richard. Sarah merasa pusing. Ambruk.

Wing wung wing wung. Sirine polisi terdengar semakin nyaring. Para polosi itu menerima laporan bahwa ada kerusuhan di daerah itu.

Tapi semuanya terlambat.

^ ^

Orang-orang berpakaian serba hitam memenuhi sebuah tanah lapang. Mereka menguburkan jasad seorang anak kecil yang kelahirannya dulu tiada yang menginginkannya selain kehidupan jalanan yang liar, tapi kini kematiannya dipandang oleh sekian manusia. Mereka menghargai –betul-betul menghargai- aksi heroik seorang bocah yang di nisannya tertulis “Richard bin Abi Richard”. Mereka sangat kehilangan seorang pahlawan yang dulunya adalah kaum terbuang.

Sarah menaburkan kembang di atas peristirahatan terakhir Richard, sahabat terbaiknya. Air matanya mulai mengalir. “Richard, aku sangat berterima kasih atas kehidupan yang kau berikan padaku…”

“… kau benar-benar pahlawanku.”

Di alam sana, Richard tersenyum.

Download aplikasi android Muhammad Zaini DI SINI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar