Minggu, 12 Januari 2014

The Secret Fate


Matahari bersinar cerah, membawa kebahagiaan dan keceriaan penduduk bumi, terutama siswa-siswi SMANSA yang dengan gembira memasuki ruang kelas mereka. Tapi bagiku tidak. Ini...

... sinar mentari yang sangat terik dan menyengat!

Bayangin aja, aku harus berlari-lari keliling lapangan kayak orang gila dengan membawa tas Rara yang sangat berat. Mungkin isinya video game dan barang-barang nggak bergunanya. Serta harus membawa mesin tik di tangan satunya. Gila! Maksudnya apa sih? Awalnya aku mengira ini adalah latihan bagiku tapi sekarang, kupikir ini untuk mempermalukanku.

Perihal siswa-siswi yang tak lagi menertawakanku, mungkin mereka sudah wajar dengan “kegilaanku”.

Aku mendesah capek setelah keliling seratus kali lapangan sekolah yang luas ini.

“Rama, masa segitu aja sudah capek? Bel masuk aja belum terdengar,” kata Rara tegas.

Awas lo, Rar.

Bel masuk berdering nyaring. Aku menjulurkan lidahku ke arah Rara. Kelihatannya dia kesal. Ah, entahlah, aku kan tuna netra. Mana kutahu dia kesal atau gembira. Tapi yang kutahu, aroma mawar dari pakaiannya bergerak menjauhiku.

Aku langsung saja masuk ke kelas dan menempati kursi.

Sebentar, sebenarnya aku suka nggak sih sama Rara? Dia itu kan cewek tercantik sejagat sekolah ini. Bahkan, bisa kubilang cewek-cewek Eropa nggak ada yang menyamai kecantikannya. Ah, entahlah, kini aku sangsi kalau dia itu cantik. Yang kutahu, dia adalah gadis terwangi yang pernah dikenal oleh hidungku. Dan, katanya teman-teman sih, Rara itu cantik. Ah, entahlah.

Apa aku akan terus menyukainya dengan sikap “membantunya” selama ini?

***

Tanganku meraba-raba nampan-nampan yang tersedia di meja kantin. Mencoba mencari gorengan kesukaanku, pisang goreng. Sekali meraba, “dua tiga pulau” terlampaui. Set. Oke, target locked.

Ardan tiba-tiba saja memecah konsentrasiku, “Hei, Ram, gimana latihanmu hari-hari ini? Lancar? Kok kelihatannya Rara menjadi galak gitu, ya?”

“Ah, entahlah, Dan. Yang kulakukan saat ini adalah melakukan yang terbaik. Entah apakah dengan latihan-latihan itu membuatku benci dengannya atau tidak, itu urusan Yang Maha Kuasa. Yang namanya jodoh kan, misteri kehidupan yang susah diungkap. Bahkan, ada pria yang gagahnya minta ampun, mungkin melebihi kegantengan artis-artis Korea, nggak punya istri hingga akhir hayatnya. Mungkin, orang ‘standar’ kayak aku bisa melunakkan hati Rara yang merupakan makhluk suci kahyangan dan masih liar karena belum dapat ‘hidayah’.”

“Omonganmu bijak banget, Ram,” sahutnya sambil tersenyum sinis – mungkin – terbayang dari suaranya.

Ah, sudahlah. Aku makan lagi.

Perlahan, kumasukkan pisang goreng ke dalam mulut. Lalu, eh, kok pisang gorengnya kecil banget?

“Woi, siapa yang mencuil pisang gorengku?!”

Seketika, kantin menjadi medan tawuran.

***

Kurebahkan badan penatku ini ke singgasanaku. Empuk. Kamar ini rasanya terang. Tapi entah, perabotan apa saja yang ada di kamarku ini. Yang bisa kulihat hanyalah imajinasiku akan perabot-perabot kamar yang mewah dan elegan. Ah, inilah enaknya menjadi tuna netra. Nggak terikat dengan apa yang tampak di mata. Karena dengan menutup mata, pikiran pun menjadi liar dan mampu menampilkan visual benda-benda yang kita inginkan. Luar biasa.

“Rara, kau adalah misteri. Apa di dalam dirimu tersimpan rubah ekor sembilan yang liar dan tak terkendali?” Aku cekikikan pelan.

***

Perlahan, kulangkahkan kaki ke luar rumah. Mmm, nggak perlahan juga sih, normal lah jalannya. Kuhirup pula aroma wangi bunga-bunga mawar yang melambai-lambai – terungkap dari suaranya yang berderak-derak – yang senantiasa mengingatkanku akan Rara. Minggu yang menyejukkan. Kudengar lantunan nada indah dari burung-burung yang mengepak-ngepakkan sayap dengan bebas di langit biru yang luas tak terhingga. Siapa sangka langit, bumi, hewan, bunga, burung, mawar, semuanya akan musnah pada akhirnya?

“Bang, rumahnya Bu Nadia,” kataku kepada tukang ojek yang nangkring di depan rumah. Bu Nadia adalah ibunya Rara.

***

“Terima kasih ya, bang,” ucapku seraya menyodorkan uang sepuluh ribu ketika sampai di depan rumahnya.

Di depan rumah Rara, aku nggak langsung menyelinap masuk ke rumahnya karena niatku di sini hanyalah menyelidiki: Sebenarnya Rara itu “makhluk” seperti apa, sih? Mungkin kalau aku memata-matainya, akan kuketahui pula siapa dia sebenarnya dan apakah benar hatinya secantik parasnya.

Kulangkahkan kaki perlahan, merayapi dinding menuju bingkai jendela kamar Rara. Akan kuketahui siapa dia sebenarnya.

Kretek. Ya Allah, aku menginjak ranting kering.

“Siapa itu?” reflek Rara dari kamar tapi dengan suaranya yang lembut dan tidak terdengar tegas dan kasar sama sekali. Berbeda dengan dia yang di sekolah.

Apa Rara memang anak yang halus, ya?

“Rara, ayo persiapan, nak. Sebentar lagi latihan judo mau dimulai.”

“Iya, Bunda.”

Yah, gagal nih memata-matainya. Sial.

Aku segera bersembunyi di semak-semak guna menanti kedatangannya kembali. Awalnya, aku nggak bisa tidur karena sibuk memikirkan bidadari kahyangan yang bernama Rara. Mungkin dia bukan bidadari tapi setan yang turun ke bumi untuk menghukumku. Ah, entahlah. Perlahan, angin semilir mengelus-ngelus leherku. Aku nggak bisa menolaknya. Lelap.

***

Krek. Pintu kamar Rara terbuka. Kelopak mataku turut membuka.

“Rara sudah datang,” pikirku.

Gadis cantik itu langsung membuka bukunya dan menuliskan sesuatu di permukaannya. Untungnya, karena selama ini aku mengandalkan pendengaran, maka tak sulit membaca apa yang ditulis olehnya dengan mengandalkan suaranya, apalagi tulisannya sangat rapi dan perlahan. Aha, aku langsung bisa menerawangnya.

^^^

Catatan Kehidupanku hari ini, Minggu, 12 Januari 2014.

Sebenarnya aku sangat tidak tega “menghukum” Rama seperti ini. Setiap pagi aku merasa selalu menyiksanya. Tapi, mau bagaimana lagi, aku lebih nggak suka lagi ketika Rama yang kusayang harus menerima hinaan menyakitkan dari cowok angkuh bernama Rhismal itu. Kasihan kan Rama. Dia tuna netra, dan dunianya yang indah di pikirannya langsung dihancurleburkan begitu saja oleh Rhismal yang sok hebat itu. Sok kuat. Sok segala-galanya lah.

^^^

Ah, Rara menulis diary tentangku. Lega rasanya. Tapi, eh, apa itu? Dia menyobeknya dan meremas-remasnya? Eh, mau dibuang kemana? Tempat sampah? Eh, benar! Oh tidak, apakah rasa yang ditulisnya tadi palsu? Nggak mungkin! Oh, dia menulis lagi. Apa yang ditulisnya kini?

^^^

Perasaanku dengannya hanya aku yang boleh mengetahuinya. Bahkan, dia pun tak boleh tau.

12012014, diary tanpa judul.

^^^

Rara langsung menyalakan mp3 playernya dan merebahkan dirinya ke kasur. Setidaknya, begitu yang ditangkap indra pendengaranku yang super ini.

Musik mengalun merdu dari benda itu. (untuk lagunya, bisa didownload di http://118.97.167.34/1.mp3)

^^^

everytime you kissed me
I trembled like a child
gathering the roses
we sang for the hope
your very voice is in my heartbeat
sweeter than my dream
we were there in everlasting bloom

roses die
the secret is inside the pain
winds are high up on the hill
I cannot hear you
come and hold me close
I’m shivering cold in the heart of rain
darkness falls, I’m calling for the dawn

silver dishes for the memories for the days gone by
singing for the promises
tomorrow may bring
I harbour all the old affection
roses of the past
darkness falls, and summer will be gone

joys of the daylight
shadows of the starlight
everything was sweet by your side, my love
ruby tears have come to me for your last words
I’m here just singing my song of woe
waiting for you, my love

[samia mia ii sama tia
disama ia mafia
mistia ii samantia
kastiria ira imenitara]

[morta asore
amorita midora
arta karia imifita midola]

now let my happiness sing inside my dream……….

everytime you kissed me
my heart was in such pain
gathering the roses
we sang of the grief
your very voice is in my heartbeat
sweeter than despair
we were there, in everlasting bloom

underneath the stars
shaded by the flowers
kiss me in the summer day gloom, my love
you are all my pleasure, my hope and my song
I will be here dreaming in the past
until you come
until we close our eyes

^^^

Ah, Rara, kau memang mata keduaku. Denganmu, keindahan dunia ini menjadi nyata. Tidak abstrak.

Akhirnya, aku pulang dengan senyum.

Ups. Aku menginjak ranting lagi.

“Maling!” teriak Rara.

Oh, tidak. Bisa ketahuan nih.

Download aplikasi android Muhammad Zaini DI SINI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar