Matahari bersinar cerah, membawa kebahagiaan dan keceriaan penduduk bumi, terutama siswa-siswi SMANSA yang dengan gembira memasuki ruang kelas mereka. Tapi bagiku tidak. Ini...
... sinar mentari yang sangat terik dan
menyengat!
Bayangin aja, aku harus berlari-lari keliling
lapangan kayak orang gila dengan membawa tas Rara yang sangat berat. Mungkin
isinya video game dan barang-barang nggak bergunanya. Serta harus membawa mesin
tik di tangan satunya. Gila! Maksudnya apa sih? Awalnya aku mengira ini adalah
latihan bagiku tapi sekarang, kupikir ini untuk mempermalukanku.
Perihal siswa-siswi yang tak lagi
menertawakanku, mungkin mereka sudah wajar dengan “kegilaanku”.
Aku mendesah capek setelah keliling seratus
kali lapangan sekolah yang luas ini.
“Rama, masa segitu aja sudah capek? Bel masuk
aja belum terdengar,” kata Rara tegas.
Awas lo, Rar.
Bel masuk berdering nyaring. Aku menjulurkan lidahku ke arah Rara. Kelihatannya dia kesal. Ah, entahlah, aku kan tuna netra. Mana kutahu dia kesal atau gembira. Tapi yang kutahu, aroma mawar dari pakaiannya bergerak menjauhiku.
Bel masuk berdering nyaring. Aku menjulurkan lidahku ke arah Rara. Kelihatannya dia kesal. Ah, entahlah, aku kan tuna netra. Mana kutahu dia kesal atau gembira. Tapi yang kutahu, aroma mawar dari pakaiannya bergerak menjauhiku.
Aku langsung saja masuk ke kelas dan menempati
kursi.
Sebentar, sebenarnya aku suka nggak sih sama
Rara? Dia itu kan cewek tercantik sejagat sekolah ini. Bahkan, bisa kubilang
cewek-cewek Eropa nggak ada yang menyamai kecantikannya. Ah, entahlah, kini aku
sangsi kalau dia itu cantik. Yang kutahu, dia adalah gadis terwangi yang pernah
dikenal oleh hidungku. Dan, katanya teman-teman sih, Rara itu cantik. Ah,
entahlah.
Apa aku akan terus menyukainya dengan sikap
“membantunya” selama ini?
***
Tanganku meraba-raba nampan-nampan yang
tersedia di meja kantin. Mencoba mencari gorengan kesukaanku, pisang goreng.
Sekali meraba, “dua tiga pulau” terlampaui. Set. Oke, target locked.
Ardan tiba-tiba saja memecah konsentrasiku,
“Hei, Ram, gimana latihanmu hari-hari ini? Lancar? Kok kelihatannya Rara
menjadi galak gitu, ya?”
“Ah, entahlah, Dan. Yang kulakukan saat ini
adalah melakukan yang terbaik. Entah apakah dengan latihan-latihan itu
membuatku benci dengannya atau tidak, itu urusan Yang Maha Kuasa. Yang namanya
jodoh kan, misteri kehidupan yang susah diungkap. Bahkan, ada pria yang
gagahnya minta ampun, mungkin melebihi kegantengan artis-artis Korea, nggak
punya istri hingga akhir hayatnya. Mungkin, orang ‘standar’ kayak aku bisa
melunakkan hati Rara yang merupakan makhluk suci kahyangan dan masih liar
karena belum dapat ‘hidayah’.”
“Omonganmu bijak banget, Ram,” sahutnya sambil
tersenyum sinis – mungkin – terbayang dari suaranya.
Ah, sudahlah. Aku makan lagi.
Perlahan, kumasukkan pisang goreng ke dalam
mulut. Lalu, eh, kok pisang gorengnya kecil banget?
“Woi, siapa yang mencuil pisang gorengku?!”
Seketika, kantin menjadi medan tawuran.
***
Kurebahkan badan penatku ini ke singgasanaku.
Empuk. Kamar ini rasanya terang. Tapi entah, perabotan apa saja yang ada di
kamarku ini. Yang bisa kulihat hanyalah imajinasiku akan perabot-perabot kamar
yang mewah dan elegan. Ah, inilah enaknya menjadi tuna netra. Nggak terikat
dengan apa yang tampak di mata. Karena dengan menutup mata, pikiran pun menjadi
liar dan mampu menampilkan visual benda-benda yang kita inginkan. Luar biasa.
“Rara, kau adalah misteri. Apa di dalam dirimu
tersimpan rubah ekor sembilan yang liar dan tak terkendali?” Aku cekikikan
pelan.
***
Perlahan, kulangkahkan kaki ke luar rumah.
Mmm, nggak perlahan juga sih, normal lah jalannya. Kuhirup pula aroma wangi bunga-bunga
mawar yang melambai-lambai – terungkap dari suaranya yang berderak-derak – yang
senantiasa mengingatkanku akan Rara. Minggu yang menyejukkan. Kudengar lantunan
nada indah dari burung-burung yang mengepak-ngepakkan sayap dengan bebas di
langit biru yang luas tak terhingga. Siapa sangka langit, bumi, hewan, bunga,
burung, mawar, semuanya akan musnah pada akhirnya?
“Bang, rumahnya Bu Nadia,” kataku kepada
tukang ojek yang nangkring di depan rumah. Bu Nadia adalah ibunya Rara.
***
“Terima kasih ya, bang,” ucapku seraya
menyodorkan uang sepuluh ribu ketika sampai di depan rumahnya.
Di depan rumah Rara, aku nggak langsung
menyelinap masuk ke rumahnya karena niatku di sini hanyalah menyelidiki:
Sebenarnya Rara itu “makhluk” seperti apa, sih? Mungkin kalau aku
memata-matainya, akan kuketahui pula siapa dia sebenarnya dan apakah benar
hatinya secantik parasnya.
Kulangkahkan kaki perlahan, merayapi dinding
menuju bingkai jendela kamar Rara. Akan kuketahui siapa dia sebenarnya.
Kretek. Ya Allah, aku menginjak ranting
kering.
“Siapa itu?” reflek Rara dari kamar tapi
dengan suaranya yang lembut dan tidak terdengar tegas dan kasar sama sekali.
Berbeda dengan dia yang di sekolah.
Apa Rara memang anak yang halus, ya?
“Rara, ayo persiapan, nak. Sebentar lagi
latihan judo mau dimulai.”
“Iya, Bunda.”
Yah, gagal nih memata-matainya. Sial.
Aku segera bersembunyi di semak-semak guna
menanti kedatangannya kembali. Awalnya, aku nggak bisa tidur karena sibuk
memikirkan bidadari kahyangan yang bernama Rara. Mungkin dia bukan bidadari
tapi setan yang turun ke bumi untuk menghukumku. Ah, entahlah. Perlahan, angin
semilir mengelus-ngelus leherku. Aku nggak bisa menolaknya. Lelap.
***
Krek. Pintu kamar Rara terbuka. Kelopak mataku
turut membuka.
“Rara sudah datang,” pikirku.
Gadis cantik itu langsung membuka bukunya dan
menuliskan sesuatu di permukaannya. Untungnya, karena selama ini aku
mengandalkan pendengaran, maka tak sulit membaca apa yang ditulis olehnya
dengan mengandalkan suaranya, apalagi tulisannya sangat rapi dan perlahan. Aha,
aku langsung bisa menerawangnya.
^^^
Catatan Kehidupanku hari ini, Minggu, 12
Januari 2014.
Sebenarnya aku sangat tidak tega “menghukum”
Rama seperti ini. Setiap pagi aku merasa selalu menyiksanya. Tapi, mau
bagaimana lagi, aku lebih nggak suka lagi ketika Rama yang kusayang harus
menerima hinaan menyakitkan dari cowok angkuh bernama Rhismal itu. Kasihan kan
Rama. Dia tuna netra, dan dunianya yang indah di pikirannya langsung
dihancurleburkan begitu saja oleh Rhismal yang sok hebat itu. Sok kuat. Sok
segala-galanya lah.
^^^
Ah, Rara menulis diary tentangku. Lega
rasanya. Tapi, eh, apa itu? Dia menyobeknya dan
meremas-remasnya? Eh, mau dibuang kemana? Tempat sampah? Eh, benar! Oh tidak,
apakah rasa yang ditulisnya tadi palsu? Nggak mungkin! Oh, dia menulis lagi.
Apa yang ditulisnya kini?
^^^
Perasaanku dengannya hanya aku yang boleh
mengetahuinya. Bahkan, dia pun tak boleh tau.
12012014, diary tanpa judul.
^^^
Rara langsung menyalakan mp3 playernya dan
merebahkan dirinya ke kasur. Setidaknya, begitu yang ditangkap indra
pendengaranku yang super ini.
Musik mengalun merdu dari benda itu. (untuk
lagunya, bisa didownload di http://118.97.167.34/1.mp3)
^^^
everytime you kissed me
I trembled like a child
gathering the roses
we sang for the hope
your very voice is in my heartbeat
sweeter than my dream
we were there in everlasting bloom
I trembled like a child
gathering the roses
we sang for the hope
your very voice is in my heartbeat
sweeter than my dream
we were there in everlasting bloom
roses die
the secret is inside the pain
winds are high up on the hill
I cannot hear you
come and hold me close
I’m shivering cold in the heart of rain
darkness falls, I’m calling for the dawn
the secret is inside the pain
winds are high up on the hill
I cannot hear you
come and hold me close
I’m shivering cold in the heart of rain
darkness falls, I’m calling for the dawn
silver dishes for the memories for the days
gone by
singing for the promises
tomorrow may bring
I harbour all the old affection
roses of the past
darkness falls, and summer will be gone
singing for the promises
tomorrow may bring
I harbour all the old affection
roses of the past
darkness falls, and summer will be gone
joys of the daylight
shadows of the starlight
everything was sweet by your side, my love
ruby tears have come to me for your last words
I’m here just singing my song of woe
waiting for you, my love
shadows of the starlight
everything was sweet by your side, my love
ruby tears have come to me for your last words
I’m here just singing my song of woe
waiting for you, my love
[samia mia ii sama tia
disama ia mafia
mistia ii samantia
kastiria ira imenitara]
disama ia mafia
mistia ii samantia
kastiria ira imenitara]
[morta asore
amorita midora
arta karia imifita midola]
amorita midora
arta karia imifita midola]
now let my happiness sing inside my dream……….
everytime you kissed me
my heart was in such pain
gathering the roses
we sang of the grief
your very voice is in my heartbeat
sweeter than despair
we were there, in everlasting bloom
my heart was in such pain
gathering the roses
we sang of the grief
your very voice is in my heartbeat
sweeter than despair
we were there, in everlasting bloom
underneath the stars
shaded by the flowers
kiss me in the summer day gloom, my love
you are all my pleasure, my hope and my song
I will be here dreaming in the past
until you come
until we close our eyes
shaded by the flowers
kiss me in the summer day gloom, my love
you are all my pleasure, my hope and my song
I will be here dreaming in the past
until you come
until we close our eyes
^^^
Ah, Rara, kau memang mata keduaku. Denganmu,
keindahan dunia ini menjadi nyata. Tidak abstrak.
Akhirnya, aku pulang dengan senyum.
Ups. Aku menginjak ranting lagi.
“Maling!” teriak Rara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar