“Ah, ide buruk siapa lagi ini yang
menjadikan ujian tahfiz 5 juz sebagai syarat kenaikan kelas? Apa mereka ingin
menggugurkan kita dari sekolah ini? Iya sih, aku tau ini adalah sekolah tahfiz,
tapi jangan gini juga lah, memaksa kita supaya mati-matian mempersiapkan 5 juz
yang akan disetorkan sekali duduk! Yakin dah aku, pasti banyak santri sekolah
ini yang akan keluar!” Andre menumpahkan seluruh emosinya kepada kami yang
duduk melingkarinya. Tampak dari wajahnya yang sangat merah bahwa dia sangat
marah.
Kesunyian menghamburi majelis ngobrol itu.
Semua santri terdiam, berusaha mencerna baik-baik perkataan Andre barusan.
Mereka semua menahan mulut mereka untuk tidak berkata apa-apa. Sementara Andre,
urat lehernya masih tampak tegang dan wajah merahnya masih tampak menyala.
Keheningan itu dipecah olehku yang tidak
setuju dengan pernyataan Andre, “Andre, memang sih 5 juz dalam sekali duduk itu
sangat berat. Tapi, apa sih salahnya kalau kita mencoba? Waktu kita masih 5
hari lagi! Waktu yang lumayan lama, bukan? Aku yakin kok, kalau kita berusaha
sungguh-sungguh untuk mendapatkan 5 juz lancer, kita semua pasti naik kelas dan
nggak ada lagi yang harus menanggung malu berada di kelas yang sama.” Tanganku
bergerak-gerak sambil menjelaskan seakan-akan semangat perkataan ini mengalir
lembut ke seluruh tubuh.
“Tapi Doni, cobalah kau berpikir, 5 juz itu
susah ya! Apalagi kita terbiasa menyiapkan dalam sehari hanya seperempat juz
untuk disetorin, kalau kita usaha mati-matian pun, nggak akan bisa mencapainya!
Aku sangat tidak suka pada mereka yang baru saja membuat system konyol ini.
Padahal kan, tahun lalu aja nggak seaneh ini ujiannya. Apa mereka ingin
mengeliminasi angkatan kita? Benar-benar niat yang sangat buruk!” Kedua Alis
Andre mulai terlihat seperti menyatu membentuk V, nada bicaranya pun semakin memuncak,
membuat atmosfer taman memanas bagaikan lubang ozon yang semakin meluber.
“Stop Andre! Jangan katakan itu lagi! Kalau
kamu mau tinggal kelas atau keluar, silahkan saja! Tapi aku tetap pada
pendirianku, aku akan berusaha keras untuk bisa mengakhiri kutukan ini. Jadi…”
aku merendahkan dan memelankan suaraku, “jangan ganggu aku lagi.”
Aku segera meninggalkan majelis itu karena
sudah begitu panas buatku. Telingaku rasanya menguap seperti udara panas yang
menyembur dari ceret yang mendidih. Sudah muak aku mendengar semua ocehan
keputusasaan ini.
***
Masih 5 hari sebelum ujian tahfiz…
Aku menyetorkan pahaku di atas jurang
–pojok luar asrama- yang menghadap langsung ke gunung lawu yang indah nan
eksotis seraya berusaha menenangkan diri dan emosi serta menghilangkan
kenangan-kenangan buruk saat mendengarkan ocehan keputusasaan tadi sekalugus
mempersiapkan jiwa dan pikiran supaya siap bertarung dalam ujian 5 juz. “I know
that I can!” Aku rentangkan tinjuku ke gunung lawu.
“Aku dalam sehari biasanya hanya bisa melancarkan
seperempat juz. Apakah aku bisa sukses menyelesaikan ujian ini ya?” aku terdiam
sejenak. “Tidak, tidak…” seraya menggelengkan kepala, “aku pasti bisa dan tidak
akan termakan pemikiran keputusasaan itu!”
Suasana kembali sunyi. Pepohonan telanjang
bergoyang-goyang diterpa angin sepoi yang menyejukkan. Gerombolan awan kapas
berarak mengitari gungung lawu yang eksotis.
Ketenanganku terganggu ketika langkah
seseorang mendekatiku.
Lalu, dia duduk di sampingku.
“Don, aku sangat nggak yakin bisa
menyelesaikan ujian ini.” Andre berkata padaku dengan lirih.
Hei, bukannya tadi kamu sudah berkata
begitu pada kami semua? Gara-gara perkataaanmu tadi, kami semua sukses dibuat
putus asa olehmu! Apa kamu kali ini mau membuatku putus asa lagi? Apa kamu
ingin menjatuhkan aku! batinku.
“Aku tu sebenarnya pengen masuk
kedokteran,” ucapnya lirih, “tapi kan kalau misalkan aku nggak lulus ujian 5
juz ini, aku pasti gagal masuk kedokteran karena kelamaan membusuk di sini.
Jadi, aku punya rencara B.”
“Apa rencanamu?”
“Aku akan keluar dari sekolah ini dan akan
mengambil paket C.” Matanya menatap mentari dengan yakin.
“Kalau aku , nggak ada rencana B,” ungkapku
dengan tegas.
“Hah, apa maksudmu? Kita itu harus punya
rencana B. Kalau rencana A gagal, lalu mau diapakan kehidupan kita berikutnya?
Apa kamu mau hidup terluntang-lantung dalam kebimbangan?” ucap Andre seraya menghempas-hempaskan
kedua telapak tangannya.
“Memang, rencana A bisa gagal, tapi kalau
aku hanya memikirkan rencana B, rencana A akan musnah.” Desir-desir angin
membelai lembut tubuh kami.
Andre berdiri meninggalkanku.
***
Ujian tahfiz pun tiba…
Masjid sangat ramai hari ini, disesaki oleh
kicauan-kicauan syahdu para santri yang senantiasa melancarkan hafalan mereka
untuk ujian tahfiz 5 juz. Ada yang mati-matian melancarkan hafalannya namun ada
pula yang tampak sangat santai seakan-akan kalu dia tidur pun ngigaunya bacaan
Al-Quran. Aku duduk bersila di antara mereka.
Tampak di pojok masjid seorang santri
sedang duduk termangu menatap angkasa. Aku menghampirinya. “Hei Andre, kamu
mikirin apa?”
“Mmm…” Hening.
“Aku sudah mendaftar paket C, Don.” Bagai
disambar gledeg, pikiranku kosong.
“Apa? Terus kamu nggak nyiapin untuk ujian
tahfiz 5 juz?”
“Nggak. Aku pasrah.”
“Andre, biarpun masa-masa kita adalah masa
SMA, masa remaja, kita berbeda dengan orang-orang di luar. Kita menghafal
Al-Quran, kitab yang sangat mulia. Itu nilai plusnya. Jadi, kita nggak boleh
menyerah begitu saja dan tetap terus menggenggam kitab ini dengan sangat erat.
Jangan sampai kita putus di tengah jalan hanya gara-gara ujian 5 juz! Masih ada
10 juz lagi yang belum kita hafal!”
Andre mendesah. Aku meninggalkannya dalam
kebimbangan dan kembali mempersiapkan ujian tahfiz.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar